Setelah wisuda, aku
diminta Ayahku untuk segera menikah. Menurut beliau, umurku telah cukup dewasa
untuk mengarungi rumah tangga, ditambah lagi dengan pekerjaan tetapku. Tapi,
aku masih ragu dengan pikiranku. Terlalu
tinggi criteria suami yang aku inginkan.
Mungkin karena aku menganggap kalau aku termasuk orang yang sukses, jadi
aku ingin mencari orang yang lebih
sukses dariku.
Sebulan setelah
itu, ada laki-laki yang ingin melamarku melalui murobbiku. Secara spiritual, tak
ada alasan untuk aku menolak. Tapi, yang ada dipikiranku aku tak ingin derajat
suamiku lebih rendah dariku. Berulang kali murobbiku meyakinkanku, agar aku tak
mengutamakan kesenangan dunia. Tak jarang aku memberontak dengan pikiran
sendiri,
“Ya tuhan, mengapa
pikiran ini tak pernah lepas?”.
Aku berusaha
menerima laki-laki itu untuk menjadi
suamiku. Ku posisikan diriku laksana orang yang paling bahagia disaat
pernikahanku. Aku tak tahu apakah aku membohongi banyak orang, tapi yang pasti
aku telah membohongi diriku sendiri. Aku
selalu bersikap manis didepan suamiku, seolah-olah berbakti padanya. Suamiku
begitu sabar menghadapiku, dan sangat menyayangiku. Tapi, pikiran bawah sadarku
tetap memberontak, bahwa derajat dia lebih rendah dariku. Itulah yang terkadang membuatku tak sanggup lagi dengan rumah tangga yang
penuh rekayasaku sendiri. Mungkin, karena targetku sebulan setelah menikah aku
ingin membeli mobil dengan gajiku dan gaji suamiku beserta semua tabungan yang
sejak lama aku kumpulkan. Tapi, jangankan membeli mobil, membangun rumahpun
belum bisa secepat itu jika mengandalkan
gaji suamiku. Karena suamiku hanya seorang PNS, yang gajinya lebih kecil dari
gajiku.
Seminggu setelah
menikahpun aku masih mengulas kembali alasanku menerima lamarannya, mengapa aku
menerimanya?
“Ya tuhan, jangan
biarkan setan mengaduk-aduk pikiranku, jangan biarkan aku melakukan hal yang
terburuk”.
Berulang kali kucurhatkan
perasaanku lewat doa-doa dalam sholatku. Tak jarang aku ditemui suamiku dalam
keadaan menangis.
Sekarang aku bukan lagi
menyesal dengan keputusan memilihnya sebagai suami, tapi aku selalu memberontak
dengan pikiran duniawiku yang membuat aku tak seutuhnya mencintai, mempersempit
gerak ku untuk memperhatikan suamiku.
Suamiku sungguh
luar biasa, dia selalu memberikan kejutan-kejutan untukku, dia terlalu baik
untuk wanita sepertiku, dia seolah tahu semua seluk-belukku, dia ingat semua
hal yang dibicarakan saat perkenalan sebelum memutuskan untuk menikah. Berbeda
denganku, aku sama sekali tak ada yang ingat apa saja yang ia senangi. Malah
terkadang aku memasak apa yang ia tidak sukai yang bisa mencelakakan
kesehatannya. Tapi, suamiku tetap memakan masakanku yang sama sekali tak ia sukai
dan ia tetap melontarkan pujiannya terhadapku.
Suatu hari, suamiku
tak pulang seperti biasanya. Aku mencoba mencari hal-hal yang bisa membuatku
mencintainya. Ku periksa semua hal pribadi suamiku, termasuk laci tempatnya
meletakkan semua berkas-berkas pekerjaannya. Kutemukan sebuah buku agenda punya
suamiku, kubaca sampai tak ada yang ketinggalan. Ternyata suamiku sejak awal
sudah curiga dengan sikapku, sampai ia mencatat semua apa yang aku lakukan dan
apa yang ia lakukan.
Hari pertama
pernikahan : kulihat wajahnya murung ketika tak ada tamu
Hari kedua
:kutemukan ia sedang menangis dalam doanya
Hari
ketiga : ia tak mengantarkanku sampai depan pintu ketika aku akan pergi bekerja
Hari keemat :
istriku cuek
Hari kelima :
masakannya membuat dadaku terasa sakit
Keenam, ketujuh,
dll.
Tapi, meskipun
istriku demikian aku sangat mencintainya. Semoga aku bisa meraih cintanya,
dengan pertolongan-Mu.
Suamiku mencatat semua hal aneh
yang ada padaku, aku hanya bisa menangis membaca buku agendanya. Semula kukira
suamiku tak pernah curiga dengan sikapku, ternyata sejak awal aku sudah tak
mampu bersandiwara dengan sempurna.
Kubuka kembali lembaran
berikutnya yang berisi catatannya memberikanku kejutan setiap harinya.
Hari pertama pernikahan : Merayunya dengan puisi yang telah
aku persiapkan
Hari kedua : Memberikan pujian atas masakannya
Hari ketiga : Membelikan boneka kesukaannya
Hari keempat : Bangun lebih awal darinya dan membuatkan
sarapan
Hari kelima, keenam, ketujuh, dlll.
“Ya tuhan, apa yang telah aku
perbuat terhadap suamiku yang begitu mencintaiku? Aku tak lebih dari seorang
yang tidak mengetahui agama. Meski aku mengibarkan jilbab yang lebih dari
standar.
Suamiku memang
setiap hari memberiku kejutan, kado-kado yang aku sukai. Meskipun aku senang,
namun tak 100%. Pada hari ke 10
pernikahan kami, ia memberiku sebuah buku yang ia bungkus dengan warna
kesukaanku. Ia memberikan itu disaat kami sedang berada dalam ruangan yang
biasanya kami gunakan untuk sholat. Setelah sholat ia memberikan kado itu.
“Sayang, ini hadiah
untukmu hari ini”
Aku menerimanya dengan ekspresi
biasa saja, menurutku tak ada yang istimewa dengan suamiku. Setelah itu ia
pergi ke ruang tempat ia meletakkan semua berkas kantornya.
Kubuka kadonya dengan berlahan,
kutemukan foto Asmanadia di cover buku yang judulnya sakinah bersamamu. Di
covernyapun aku telah menemukan sebuah kalimat yang membuatku langsung
menumpahkan jeritan hatiku dengan cairan
yang tak dapat aku tahan.
“Cinta bukanlah mencari pasangan sempurna,
tapi menerima pasangan kita dengan sempurna”
Ku peluk buku itu dalam linangan
air mata. Kusembunyikan diriku dari pandangan suamiku. Kubuat seolah-olah
diriku tak separah ini sedihnya jika dihadapan suamiku. Kalimat dari Asma Nadia
mampu nenusuk batinku yang tak dapat menerima suamiku dengan sempurna.
Bagaimana mungkin aku menuntut suamiku mengikuti akhlak dan kehebatan Rasulullah jika aku tak mengikuti akhlak dan
kehebatan Khadijah.
Kalimat awal dibuku itu merubah pola pikirku terhadap suamiku. Tuhan,
aku ingin mencintai suamiku sepenuhnya karena-Mu.
Tak ada kesuksesan yang
terindah kecuali kesuksesan menjalani rumah tangga dengan Ridho-Mu. Ampunilah
semua kesalahanku Ya Robb. Semoga aku
bisa menjadikan keluargaku adalah surgaku.
ceritanya bagus Mir, suka :)
ReplyDeletemenyentuh
hihihi...tulisan yng ini udah pernah dibukukan say....
ReplyDelete